
Tega! Orang Tua di Lombok Perkosa Anak Perempuan Berulang Kali Hingga Hamil – Sebuah tragedi memilukan kembali mengguncang masyarakat Lombok. Seorang ayah berinisial S (45) tega memperkosa anak kandungnya sendiri, sebut saja Melati (16), berulang kali hingga korban diketahui hamil beberapa bulan. Kasus ini bukan hanya menyayat hati, tetapi juga membuka kembali luka lama tentang kejahatan yang kerap tersembunyi di balik dinding rumah tangga.
Awal Terbongkarnya Kasus
Kasus ini terungkap berkat kepekaan seorang guru di sekolah Melati yang memperhatikan perubahan fisik dan psikologis siswinya. Melati, yang sebelumnya dikenal ceria dan aktif, dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan perilaku tertutup, mudah takut, serta perubahan fisik yang mencurigakan.
Guru tersebut kemudian mengajak Melati berbicara secara pribadi dan akhirnya mendapatkan pengakuan mengejutkan. Dengan terbata-bata dan air mata yang tak terbendung, Melati mengaku bahwa ia telah menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri, yang terjadi berulang kali sejak lebih dari satu tahun lalu.
Mendapatkan pengakuan itu, pihak sekolah segera berkoordinasi dengan Dinas Sosial dan melaporkan kasus ini ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Lombok Timur.
Kronologi Kejahatan
Berdasarkan hasil penyelidikan awal, kekerasan seksual pertama kali dilakukan S saat Melati masih berusia 15 tahun. S melakukan aksinya ketika rumah dalam keadaan sepi, biasanya saat ibu Melati sedang bekerja di luar kota. Pelaku menggunakan ancaman dan bujuk rayu agar korban tidak melaporkan perbuatannya.
Setiap kali Melati mencoba menolak, S mengintimidasinya dengan ancaman kekerasan atau memanfaatkan ketergantungan emosional anak terhadap sosok ayah. Kekerasan ini terus berulang hingga akhirnya Melati mengalami kehamilan.
Saat ini, berdasarkan hasil pemeriksaan medis, usia kandungan Melati diperkirakan sudah memasuki bulan keempat.
Penangkapan Pelaku
Kapolres Lombok Timur, AKBP R.D. Arya Yudha, dalam konferensi pers, mengungkapkan bahwa pelaku telah ditangkap tanpa perlawanan di rumahnya. Polisi juga menyita sejumlah barang bukti, termasuk pakaian korban yang diduga berkaitan dengan kejadian tersebut.
“Dari hasil pemeriksaan, tersangka mengakui seluruh perbuatannya. Ia mengaku menyesal, tetapi itu tidak mengurangi beratnya tindak kejahatan yang ia lakukan,” kata AKBP Arya.
Pihak kepolisian menjerat S dengan Pasal 81 ayat (3) juncto Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan tambahan sepertiga hukuman karena hubungan darah antara pelaku dan korban.
Dampak Psikologis bagi Korban
Kejahatan seksual dalam lingkungan keluarga meninggalkan luka yang dalam bagi korban. Menurut psikolog yang menangani kasus ini, Melati mengalami trauma berat, rasa bersalah yang tidak seharusnya, dan ketakutan yang mendalam terhadap figur ayah maupun sosok laki-laki dewasa lainnya.
“Korban menunjukkan tanda-tanda PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Saat ini kami fokus pada penanganan awal agar ia bisa merasa aman dan perlahan-lahan memulihkan kepercayaan dirinya,” ujar psikolog pendamping dari Dinas Sosial Lombok Timur.
Selain itu, kehamilan yang dialami Melati menambah lapisan kompleks dalam proses pemulihan mentalnya. Tim medis dan sosial bekerja sama untuk memberikan opsi terbaik, termasuk pendampingan terkait keputusan ke depan mengenai kehamilan tersebut.
Reaksi Masyarakat
Kabar tentang kejahatan ini menyebar cepat di kalangan masyarakat sekitar. Warga setempat mengaku kaget dan marah atas tindakan S, yang selama ini dikenal sebagai sosok pendiam dan tertutup.
“Siapa sangka, orang yang kelihatan baik di luar ternyata setega itu terhadap darah daging sendiri,” ujar seorang tetangga yang tak ingin disebutkan namanya.
Banyak pihak mendesak agar hukuman berat benar-benar dijatuhkan, mengingat dampak buruk yang ditimbulkan tidak hanya pada korban, tetapi juga pada tatanan moral masyarakat.
Perlunya Edukasi dan Pencegahan
Kasus ini menjadi tamparan keras bahwa kekerasan seksual terhadap anak masih menjadi persoalan serius, bahkan di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak: keluarga.
Pemerhati anak, Lestari Maulani, menyatakan bahwa penting untuk meningkatkan edukasi seksual berbasis perlindungan diri kepada anak sejak dini.
“Anak-anak harus tahu bahwa tubuh mereka milik mereka sendiri. Tidak ada siapapun, termasuk orang tua sekalipun, yang berhak menyentuh atau menyakiti mereka,” jelas Lestari.
Ia juga mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat program-program perlindungan anak dan memperbanyak ruang konsultasi yang aman, di mana anak-anak bisa berbicara tanpa takut dihakimi atau dibungkam.
Penanganan Lanjutan
Saat ini, Melati ditempatkan di rumah aman di bawah pengawasan Dinas Sosial. Ia mendapatkan perlindungan hukum, layanan kesehatan, dan konseling psikologis intensif. Tim ahli akan terus mendampingi Melati dalam proses pemulihan yang diperkirakan membutuhkan waktu panjang.
Sementara itu, proses hukum terhadap S terus berlanjut. Polisi telah mengumpulkan berbagai bukti dan kesaksian yang memperkuat dakwaan terhadap pelaku.
“Kami ingin memastikan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan. Tidak ada ruang untuk toleransi terhadap kekerasan seksual, apalagi terhadap anak,” tegas Kapolres.